cerpen sahabat hijrah

Tentang Kita

masakan tak akan nikmat tanpa adanya bumbu didalamnya.
begitu juga persahabatan,
tak akan manis tanpa adanya bumbu-bumbu pertengkaran.
salah satu dari kita harus mengalah, agar persahabatan kita 
kembali seperti dulu.
bahkan lebih kuat dari dulu.

(reza masfitri)



aku dan kamu sudah bersahabat sejak kita memasuki kelas 10 SMA. Aku selalu saja dingin padamu. Aku selalu saja bersikap kurang baik padamu. Namun,di hatiku yang paling dalam, aku menyayangimu. Entah kenapa selalu seperti itu. Aku senang membuatmu marah, karena kamu seperti ibuku, yang selalu marah di kala anaknya sakit. Ya,kamu sahabatku yang sekaligus menjadi ibu bagiku. Kita sering bertengkar, namun tak ada kata permusuhan antara kita, pertengkaran kita hanya beberapa jam. Aku bahagia dengan kenyataan itu. Kamu, adalah orang yang paling pengertian, yang paling peduli padaku. Kita sama-sama egois, sama-sama keras kepala, dan kita juga selalu berbeda pendapat. Terkadang aku sering menyakitimu tanpa kusadari, namun kamu tetap bersamaku. Ya, kamu adalah sahabat terbaik ku.

Dia adalah teman yang baik, yang mengerti ,yang sabar, yang sering mengalah saat aku dan dia bertengkar. Yang mengarahkan ku pada jalan yang benar. Dia memberi ku solusi, dia mengkritik ku, dan menilai ku orang yang ceplas-ceplos.Persahabatan bagaikan masakan. Tidak ada rasanya jika tak ada bumbu, begitu juga persahabatan kita, tak akan kuat seperti ini jika tak ada pertengkaran.
Seperti pertengkaran kita gara-gara aku kurang memahamimu.

Aku ingat betul, bagaimana kita bisa bertengkar. Saat itu, dia temanku mengajakku untuk shalat ashar di mushalla sekolah. Temanku itu sudah selesai duluan. Tapi aku baju selesai beberapa menit kemudian. Temanku itu berbicara dengan teman sekelas kami, dengan suara yang keras. Jujur,aku merasa terganggu saat shalat, kurang kusyuk rasanya. Setelah selesai shalat, aku menyuruhnya untuk tidak berbicara keras-keras.

" Zahra,suara." ucapku pelan.
" Suara,zahra ,banyak yang masih shalat." lagi, ucapku.namun tak dia jawab atau dengar.
Sampai yang ke-4 kalinya,aku berteriak padanya. Memintanya untuk mengecilkan volume suara nya. Jawabannya sangat membuatku marah, sampai ke ubun-ubun.
 " Biarkan saja." Begitu jawabnya.
Aku marah,marah sekali saat mendengar ucapannya. Aku merasa dia tidak ppeduli dengan sekitar ,apalagi ini berkaitan dengan agama. Aku keluar dari mushalla, mencoba menasehatinya. Namun,sebelum aku memulai hal tersebut, dia sudah bicara tak henti-hentinya, bilang bahwa dia salah. Aku kesal, aku mencoba membuatnya mendengarku. Sebenarnya aku ingin dia mengerti dan juga orang yang ada di mushalla bahwa di mushalla dilarang berisik, karena dia mengganggu orang yang sedang beribadah. Belum selesai bicara, dia sudah pergi dengan amrahnya, aku tidak bisa mengejarnya, karena saat itu aku sedang memasang sepatu.
Sesampainya di kelas, dia tak ada. Sebenarnya aku merasa bersalah sudah seperti itu padanya. Namun saat itu timbul sikap egoisku, aku mencoba bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia. Kami tidak bicara apapun sampai keluar dari gerbang sekolah.
Di rumah, aku merasa bersalah. Setelah mencoba mengkritik nya di depan seorang teman lain. Aku memikirkan bagaimana caranya berbaikan dengan temanku itu. Namun, semuanya sirna. Emosiku benar-benar ditantang oleh temanku itu. Dia membuat status agar menasehatinya di tempat yang sepi, bukan di khalayak ramai, dan juga mengungkapkan bahwa aku berniat menjatuhkannya.
Saat itu juga, aku mengirim pesan suara, menyalurkan emosiku padanya,. Dia bertanya, apakah aku merasa dia menyindir ku di statusnya, tentu saja aku jawab dengan iya. Yang membuatku tambah emosi adalah ketika dia berbohong, dengan mengatakan bahwa dia tidak menyindirku. Namun,aku mendesaknya, dan akhirnya dia mengakui kalau dia menyindirku. Aku menjelaskan padanya kalau seandainya tadi dia menjawab 'iya', walaupun dengan tekanan sekalipun, aku tidak akan marah. Yang membuatku marah adalah jawaban ' biarlah 'darinya, ditambah kebohongannya. Aku juga sudah mengakui kalau aku juga salah dalam melakukannya. Pertengkaran kami semakin menjadi-jadi, lebih dari 30 menit kami bertengkar dengan mengirim pesan suara di sosial media. Hingga akhirnya aku muak, karena pertengkaran yang tak berujung antara kami, ditambah aku juga merasa kesal pada diriku karena telah membuatnya menangis. Aku memutuskan untuk memblokirnya. Dia menghubungiku lewat akun sosial media lain, namun tak ku baca, tak ku angkat dan tidak ku tanggapi. Aku lelah bertengkar dengannya.

Malam itu aku susah tidur, karena aku memikirkan bagaimana hariku esok, karena aku masih bertengkar dengannya. Aku tidur lewat jam 12 malam, hal itu menyebabkanku kesiangan berangkat ke sekolah. Aku terbangun pukul 6 pagi. Bergegas ke sekolah, mandi alakadarnya, pergi tanpa sarapan, dan tampa beberes kamar.
Di kelas aku melihatnya, namun aku buang muka. Mencoba menganggap dia tidak ada, aku sabgat egois hari itu. Namun, dia mencoba mengajak ku berbicara. Tentu saja aku menanggapi dengan singkat, karena malam itu aku memutuskan untuk memaafkannya tapi tidak ingin dekat dengannya lagi.

Saat jam istirahat, aku mendapat amanat dari guru untuk menyampaikan informasi padanya. Aku dan dia sama-sama meminjam buku yang sama dari seorang guru, guru itu memintaku untuk berdiskusi padanya, siapa yang lebih dulu memakainya. Sebenarnya aku nggak mau bilang, tapi karena ini amanat, tentu harus dijalankan. Aku memberitahunya mengenai buku itu, dia bilang bahwa buku itu aku saja yang membacanya lebih dahulu, buku bacaannya belum selesai dan aku menjawab oke.

Dia menghampiri mejaku dan mengajakku bicara.
" Za, ada yang mau aku bicarakan sama kamu ." Ujarnya padaku.
" Bicara aja," jawab ku padanya tanpa melihat wajahnya.
" Enggak bisa di sini, di luar yuk." Ajaknya.
" Disini aja,aku mager, nggak lihat ni, lagi sibuk baca buku." jawabku padanya agak kasar.
" Di luar yaa, plese. Soalnya ini masalah penting." Pintanya.
"Ya udah, okay, tapi cuman 5 menit." Jawabku.

Aku keluar kelas, diiringi oleh temanku itu. dia meminta maaf, atas semuanya, menjelaskan semua masalahnya. Tentu saja dia sudah kumaafkan terlebih dahulu. Aku juga minta maaf padanya, karena tidak pernah memahaminya, dan selalu membuatnya sakit hati tanpa kusadari. Dan aku juga bilang bahwa aku dan dia tidak akan bisa jadi sahabat seperti itu, karena mungkin jika terus bersahabat seperti dulu, dia akan sering sakit hati, dikarenakan sikapku.Tentu aku tidak mau menyakiti hatinya terus menerus.
Namun dia mau seperti itu. Dia terus membujukku, hingga aku luluh. Kami bersahabat seperti dulu lagi. Alhamdulillah.

Comments

Popular posts from this blog

contoh pidato "usaha,doa,tawakal,dan berpikiran positif"

Contoh cerpen motivasi belajar